SEJARAH PENDIDIKAN ISLAM : KONSEP PENDIDIKAN ISLAM YANG IDEAL
MENCARI FORMAT
PENDIDIKAN ISLAM YANG IDEAL DALAM TANTANGAN GLOBAL
MAKALAH
![]() |
Disusun
Oleh :
Fitri
Amaliya
(3140017)
Makalah
yang Ditulis untuk Memenuhi sebagian Tugas Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
SEKOLAH
TINGGI ILMU TARBIYAH (STIT) PEMALANG
2016
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Islam
sejak awal kemunculannya telah memperlihatkan pentingnya pendidikan bagi
kehidupan manusia. Ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad adalah Iqra’
yang mengandung pesan tentang perintah memberdayakan potensi akal yang dimiliki
manusia, dan itu merupakan inti pendidikan dalam Islam. Namun, perlu diakui
bahwa pendidikan Islam ketika itu belum mempunyai bentuk yang formal dan
sistematis, karena peranan pendidikan pada awal perkembangan Islam masih
sebatas upaya-upaya penyebaran dakwah Islam berupa penanaman ketauhidan dan
praktek-praktek ritual keagamaan.
Keadaan
di atas berlangsung sejak Nabi Muhammad masih hidup hingga sampai pada suatu
zaman dimana pemikiran umat Islam mulai bersentuhan dengan peradaban dan
kebudayaan dari luar Islam (Arab). Masuknya filsafat Yunani merupakan faktor
yang sangat dominan bagi perkembangan pemikiran dalam Islam, termasuk dalam
bidang pendidikan.
Pendidikan
zaman dulu seharusnya menjadi cerminan untuk pendidikan masa yang akan datang.
Yang baik dari zaman dulu dan sisi buruknya ditinggalkan. Hal ini dilakukan
untuk mendapatkan solusi menghadapi globalisasi dan perkembangan zaman yang
jauh berbeda dengan zaman dahulu. Filsafat pendidikan dan pemikiran pendidikan
Islam, dalam hal ini harus turut memberi respon bagi semua perubahan dan
perkembangan itu. Karena filsafat dan pemikiran Islam itu selalu merupakan
akibat dari dua hal—yaitu ideologi Islam seperti digambarkan dalam al-Qur’an
dan al-Hadis serta suasana baru yang muncul dalam dunia Islam (pendidikan) itu
sendiri—sehingga perlu dibentuk format pendidikan Islam yang ideal yang dapat
menyesuaikan terhadap perkembangan zaman dengan tanpa melupakan nilai-nilai
keagamaan Islam dalam dunia pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Dalam
suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara sistematis dan runtut sesuai
dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu untuk menyusun suatu rumusan
masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan pada makalah ini. Adapun
rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Bagaimana hakikat pendidikan itu?
2.
Bagaimana
pendidikan Islam di masa pembaharuan?
3.
Bagaimana
strategi pembangunan pendidikan Islam dalam upaya mengatasi perkembangan iptek?
4.
Bagaimana pendidikan
karakter dalam perspektif Islam?
5.
Bagaimana manajemen
dalam pendidikan Islam?
C.
Tujuan
Penulisan
Adanya
suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah barang tentu semuanya
mempunyai tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan tersebut berbada atau pun
sama. Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan judul “Mencari Format Pendidikan Islam Yang Ideal Dalam Tantangan Global” mempunyai
beberapa tujuan diantaranya adalah :
1. Untuk
mengetahui hakikat pendidikan.
2. Untuk
mengetahui pendidikan Islam di masa pembaharuan.
3. Untuk
mengetahui strategi pembangunan pendidikan
Islam dalam upaya mengatasi perkembangan iptek.
4. Untuk
mengetahui tentang pendidikan
karakter dalam perspektif Islam.
5. Untuk
mengetahui manajemen dalam pendidikan Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakikat
Pendidikan
Sebelum lebih jauh membahas mengenai
format pendidikan Islam yang ideal dalam tantangan global, terlebih dahulu kita
pahami bagaimana hakikat pendidikan itu sendiri. Hakikat pendidikan menjangkau
empat hal yang sangat mendasar, yaitu sebagai berikut[1]
:
1.
Pendidikan pada
hakikatnya adalah proses pembinaan akal manusia yang merupakan potensi utama
dari manusia sebagai makhluk berpikir.
2.
Pendidikan pada
hakikatnya adalah pelatihan keterampilan setelah manusia memparoleh ilmu
pengetahuan yang memadai dari hasil olah pikirnya.
3.
Pendidikan
dilakukan di lembaga formal dan non formal, sebagaimanan dilaksanakan di
sekolah, keluarga dan lingkungan masyarakat.
4.
Pendidikan
bertujuan mewujudkan masyarakat yang memiliki kebudayaan dan peradaban yang
tinggi dengan indicator utama adanya peningkatan kecerdasan intelektual
masyarakat, etika dan moral masyarakat yang baik dan berwibawa, serta
terbentuknya kepribadian yang luhur.
Hakikat
pendidikan Islam adalah upaya tanpa putus asa untuk menggali hidayah yang
terkandung dalam Al-Qur`an. Hidayah yang dimaksudkan adalah hidayah iman,
hidayah ilmu dan hidayah amal. Hidayah iman artinya semua orang yang menggali
kandungan Al-Qur`an hendaknya beriman kepada Allah dan Rasulallah SAW. serta
beriman kepada kitab Al-Qur`an. Hidayah ilmu artinya penggalian terhadap
ayat-ayat Al-Qur`an yang memberi informasi
dan idea dasar ilmu pengetahuan manusia, sedangkan hidayah amal artinya
kita diberi kekuatan fisik dan mental untuk mengamalkan seluruh ilmu yang telah
digali dalam Al-Qur`an.[2]
B.
Masa
Pembaharuan Pendidikan Islam
Setelah mengetahui bagaimana hakikat
pendidikan, selanjutnya kita coba melirik ke masa pembaharuan pendidikan Islam.
Dimana pembaharuan pendidikan Islam terjadi sebab kelemahan dan kemunduran umat
Islam di masa sebelumnya. Dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan
kekuatan yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa.
Pada garis besarnya terjadi tiga
pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Ketiga pola tersebut adalah : (1)
pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi kepada pola pendidikan
modern di Eropa. (2) yang berorientasi dan bertujuan untuk pemurnian kembali
ajaran Islam, dan (3) yang berorientasi pada kekayaan dan sumber budaya bangsa
masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.[3]
1.
Golongan yang
berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, pada dasarnya mereka
berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami oleh
Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh
bangsa-bangsa Barat sekarang, tidak lain adalah merupakan pengembangan dari
ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas
dasar demikian, maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam,
sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.[4]
Pembaharuan pendidikan dengan pola Barat ini, mulanya timbul di Turki Usmani
pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai
negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha
sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern. Sultan
Mahmud II (yang memerintah di Turki Usmani 1807 – 1839 M), adalah pelopor
pembaharuan pendidikan di Turki.[5]
2.
Gerakan
pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni.
Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi
kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri
sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk
membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal
ini Islam telah membuktikannya, pada masa-masa kejayaanny.[6]
Pola pembaharuan ini dirintis oleh Muhammad bin Abd al Wahab, kemudian
dicanangkan kembali oleh Jamaluddin Al-Afgani dan Muhammad Abduh (akhir abad 19
M). Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada
Al-Qur`an dan Hadis dalam arti yang sebenarnya, tidaklah mungkin. Ia
berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan untuk semua bangsa, semua zaman
dan semua keadaan.[7]
3.
Usaha pembaharuan
pendidikan yang berorientasi pada nasionalisme. Rasa nasionalisme timbul
bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern, dan dimulai dari Barat.
Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian
menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut
mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk
mengembangkan nasionalisme masing-masing.[8]
Disamping itu, adanya keyakinan di kalangan pemikir-pemikir pembaharuan di
kalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan
sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang
berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam.[9]
Dari ketiga
pola itu dapat disimpulkan bahwa pendidikan Islam di era globalisasi idealnya
tidak menjauhi arus modernisasi namun juga tetap berpegang teguh pada Al-Qur`an
dan hadis, tetap menjaga rasa nasionalisme serta tetap melestarikan budaya bangsa.
C.
Strategi
Pembangunan Pendidikan Islam dalam Upaya Mengatasi Perkembangan IPTEK
1)
Perencanaan
Program Pendidikan Islam
Secara
substansial, program pendidikan Islam perlu dijabarkan sesuai dengan identitas
Al-Qur`an dan Sunnah Nabi yang berorientasi kepada hubungan tiga arah, yaitu[10]
:
1.
Berorientasi ke
arah Tuhan pencipta alam semesta.
2.
Berorientasi ke
arah hubungan dengan sesame manusia.
3.
Berorientasi ke
arah bagaimana pola hubungan manusia dengan alam sekitar dan dirinya sendiri
harus dikembangkan.
Orientasi
hubungan dengan alam sekitar dan diri manusia sendiri menjadi dasar
pengembangan iptek, sedangkan orientasi hubungan dengan Tuhan menjadi dasar
pengembangan sikap dedikasi dan moralitas yang menjiwai pengembangan iptek,
orientasi hubungan dengan sesame manusia menjadi dasar pengembangan hidup
bermasyarakat yang berpolakan atas kasinambungan, kserasian, serta keselarasan
dengan nilai-nilai moralitas yang menentramkan jiwa.[11]
Sasaran psikologis yang perlu dididik dan dikembangkan secara seimbang, serasi
dan selaras ialah kemampuan kognitif yang berpusat di otak (head) yang
berupa kecerdasan akal, kemampuan kognitif dan emosi atau afektif yang berpusat
di dada (heart), serta kemampuan yang terletak di tangan untuk bekerja (hand).
Oleh karena Islam adalah agama rasio, afektio dan psikomotoris (akal, sikap dan
amal) maka sasaran pendidikan Islam tak lain adalah tiga H tersebut.[12]
Daya tangkal psikologis manusia adalah terletak pada sikap dan keimanan atau
ketakwaan kepada Allah, maka pendidikan yang menginternalisasikan nilai-nilai
keimanan dan ketakwaan tersebut menjadi pusatnya kurikulum pendidikan Islam,
seluruh program operasional kependidikan pada lembaga-lembaga pendidikan umum
dan agama diarahkan kepadanya.[13]
Dalam pengembangan iptek terdapat dua kepentingan yang bertentangan antara kaum
moralis idealis dan agamais dengan kaum saintis dan teknolog. Di satu pihak
memegang teguh nilai moral kemanusiaan, dan di lain pihak berpegang pada
kebebasan dari nilai moral agama dan yang berorientasi pada komersialisme dan
keunggulan dominasi atas orang atau bangsa lain dalam aliran politik.[14]
Umat Islam dengan agamanya yang mendorong kemajuan sangat berkepentingan untuk
melibatkan diri dalam kancah perbenturan nilai-nilai masa kini dan yang akan
datang, yaitu perbenturan nilai-nilai sekularistik yang bersifat relative,
dengan nilai absolutisme dari Tuhan, yang kecenderungannya tradisionalistis,
tidak boleh berubah, terpengaruh oleh perubahan sosialkultural akibat dampak
iptek.[15]
Maka posisi umat Islam saat ini sekurang-kurangnya harus mampu memilih dan menangkal teknologi serta ilmu
yang berdampak negatif dan positif. Langkah selanjutnya mentransfer melaui
terobosan-terobosan yang bersifat kreatif, seperti melalui lembaga-lembaga
pemerintah dan swasta yang bertugas melakukan penelitian dan pengembangan ilmu
dan teknologi tepat guna. Juga lembaga-lembaga riset dan pengembangan di
perguruan tinggi di dorong menjadi pusat pengembangan iptek secara efektif dan
efisien, dengan penyediaan fasilitas dan dana yang memadai kebutuhan.[16]
2)
Menghadapi
Tantangan Dampak-Dampak Iptek Modern
Dalam sejarah
peradaban Islam dapat kita telaah bahwa para ilmuwan muslim, para filsuf, para
ulama dan sebagainya memiliki sikap positif terhadap ilmu dan teknologi yang
non islami, seperti yang berasal dari Yunani, Pesia dan sebagainya didasari
dengan optimisme sesuai ajaran Islam para ilmuwan dan ulama masa itu secara antusias
mentransfer iptek dari luar yang kemudian dikembangkan menjadi iptek yang
Islami. Mereka mampu mengislamkan iptek nonislami itu, berkat kecerdasan dan
daya kreativitas tinggi yang dimotivasi oleh ajaran Al-Qur`an serta daya
selektivitas terhadap jenis-jenis iptek dari luar, sehingga bentuk-bentuk iptek
yang membahayakan akidah keimanan, ditinggalkan oleh mereka, seperti dalam
bidang filsafat yang bersifat hedonistik dan epikurstik (yang menekankan
kenikmatan hidup dari nafsu-nafsu rendah) dan bidang kesusastraan yang penuh
dengan khayal dan kesedihan (tragedy). Karena Islam mengajarkan
kehidupan penuh optimism, rahmat, dan berkat dari Tuhan bukan mengumbar
nafsu-nafsu rendah, dan sikap pesimisme serta melankolisme, maka mereka
mengembangkan pola pikirnya dalam ilmu kalam yang secara filosofis menganalisis
tentang kehidupan eskatologis dan metafisis dimana Tuhan menjadi penentu yang
final. Berbagai kesusastraan bernada penuh optimisme dikembangkan berdasarkan
visi Islam, seperti cerita seribu satu malam, dan cerita Hayyu Bin
Yaqdzan, Kalilah Wa Dimnah di mana jiwa keislaman lebih ditonjolkan.[17]
Dalam kaitan dengan iptek itu Ibnu Sina memberikan ilustrasi bagaimana
hubungannya dengan bimbingan Tuhan dan optimisme kehidupan sebagai berikut “didiklah
jiwamu dengan segala ilmu, maka ia menjadi tinggi derajatnya, lalu kamu akan
melihat keseluruhan ilmu itu, dan bagi keseluruhannya itulah bermukimnya ilmu
itu. Sesungguhnya jiwa bagaikan kaca, dan akal pikirannya bagaikan lampunya,
sedang hikmah (kebajikan) Allah bagaikan minyaknya. Maka jika ia bercahaya,
kamu menjadi hidup dan jika ia padam, maka kamu menjadi mati.”[18] Pada
akhirnya strategi pendidikan Islam dalam mengantisipasi kamajuan iptek modern,
adalah terletak pada kemampuan mengkonfigurasikan system nilai islami yang
akomodatif terhadap aspirasi umat Islam untuk berpacu dalam kompetisi bidang
iptek di satu pihak, dan di lain pihak kemampuan psikologis dan pedagogis yang
berdaya kreatif untuk mentranfer iptek modern itu sendiri. Inilah program
minimal pendidikan Islam yang perlu kita rencanakan dan laksanakan saat ini.[19]
3)
Materi, Metode
dan Tujuan Pendidikan Islam
Dengan modal
dasar berupa sikap keterbukaan, kecintaan, kejujuran, etos ilmiah, kerja keras
dan belajar, maka materi yang diperlukan di dalam kurikulum pendidikan Islam
sekurang-kurangnya adalah materi-materi pelajaran bersumber dari pokok ajaran
Islam yang mengandung motivasi dan persuasi untuk mengembangkan daya piker dan
daya zikir anak didik dalam proses belejar mengajar di lembaga-lembaga
pendidikan Islam dan umum semua jenjang sampai dengan perguruan tinggi. Metode
menginterpretasikan dalil-dalil qat`I dan dzanni dari kandungan
Al-Qur`an perlu dipertajam pada pengembangan kreativitas dan cara berpikir
sistematik dan logic serta universal dan radikal (mendasar) yang mengacu dan
kontekstual kepada tuntunan hidup modern masyarakat. Oleh karena itu, system
balajar mengajar inovatif dan kreatif perlu digalakan di lembaga-lembaga
pendidikan Islam pada khususnya dan dalam kegiatan belajar mengajar agama di
sekolah pada umum semua jenjang. System belajar mengajar yang taklidi
(dogmatis) dalam bidang-bidang studi agama yang mengandung implikasi
sosiokultural dan ilmiah-teknologis harus segera ditinggalkan oleh para
pendidik yang berpredikat muslim.[20]
Dalam kaitan dengan dampak iptek yang cenderung ke arah perubahan nilai, perlu
diwaspadai apakah perubahan nilai itu mengandung aspek positif atau negative
diukur dari rentangan nilai islami yang prinsipnya terdiri dari lima criteria
(wajib/halal, sunat, mubah, makruh dan haram). Disinilah terletak kelenturan
nilai islami yang memberikan kehidupan manusia secara normative, yang dalam
agama lain tak dibekukan. Sejalan dengan pola piker di atas maka tujan
pendidikan Islam masih perlu dirumuskan kembali berdasarkan atas tuntutan
modernitas umat di mana hubungan antara kepentingan modernisasi dengan kepentingan
kesejahteraan hidup duniawi-ukhrawi tergambar jelas.[21]
D.
Pendidikan
Karakter Dalam Perspektif Islam
Dilihat dari pendekatan moral
social, berbagai fenomena social yang muncul akhir-akhir ini cukup
menghawatirkan. Fenomena kekerasan dalam menyelesaikan masalah menjadi hal yang
umum. Pemaksaan kebijakan terjadi hamper pada setiap level institusi. Manipulasi
informasi menjadi hal yang lumrah. Penekanan dan pemaksaan kehendak satu
kelompok terhadap kelompok lain dianggap biasa. Hukum begitu telilti pada
kesalahan, tetapi buta pada keadilan.[22]
Dari titik ini terlihat adanya kebutuhan nyata dan mendesak. Semua argument
tersebut tampaknya masih relevan untuk menjadi cerminan kebutuhan akan
pendidikan nilai, moral maupun karakter
di Indonesia pada saat ini. Proses demokrasi yang semakin meluas dan tantangan
globalisasi yang semakin kuat, dan beragamnya dunia pendidikan yang lebih
mementingkan penguasaan dimensi pengetahuan dan mengabaikan pendidikan nilai
maupun moral, merupakan alasan yang kuat bagi Indonesia untuk membangkitkan
komitmen serta melakukan gerakan nasional pendidikan karakter.[23]
1)
Pengertian
Karakter
Pengertian karakter menurut Pusat
Bahasa Depdiknas adalah bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti,
perilaku, personalitas, sifat, tabiat, tempramen, watak. Adapun berkarakter
adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat dan berwatak. Menurut
Tadkiroatun Musfiroh, karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes),
perilaku (behaviors), motivasi (motivations) dan keterampilan(skills).[24]
Karakter juga berarti agregat fitur dan ciri-ciri yang membentuk sifat individu
dari beberapa orang atau hal. Watak adalah sifat lain manusia yang mempengaruhi
segenap pikiran dan tingkah laku, budi pekerti, tabiat dasar. Dengan demikian,
karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain. Endang Sumantri menyatakan, karakter ialah suatu
kualitas positif yang dimiliki sesorang, sehingga membuatnya menarik dan
atraktif, reputasi seseorang, seseorang yang unusual atau memiliki
kepribadian yang eksentrik.[25]
Bagi doni Koesoema, pendidikan
karakter adalah usaha yang dilakukan secara individu dan social dalam
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu
sendiri. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku
yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga,
masyarakat dan bernegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang
dapat dipretanggungjawabkan.[26]
2)
Urgensi
Pendidikan Karakter
Para ahli pendidikan memandang
pentingnya pendidikan karakter sangat mendesak karena adanya kepentingan untuk
mengintegrasikan capaian akademik dengan pembentukan karakter bagi peserta
didik dalam proses pendidikan.[27]
E.
Karakteristik
Manajemen Pendidikan Islam
Berbicara masalah pendidikan tidak
akan terlepas dari masalah manajemen, untuk mewujudkan pendidikan Islam yang
ideal maka diperlukan tata manajemen yang ideal pula. Di era globalisasi ini
ada berbagai macam hambatan dalam pengelolaan lembaga pendidikan Islam, antara
lain:
1.
Ideologi,
politik, dan tekanan (pressure) kelompok-kelompok kepentingan.[28]
2.
Kondisi sosio-ekonomik
masyarakat dan animo-finansial lembaga.[29]
3.
Komposisi
status kelembagaan dan diskriminasi kebijaksanaan pemerintah.[30]
4.
Keadaan potensi
intelektual siswa/mahasiswa.[31]
5.
Keberadaan
motif dakwah pada pendirian lembaga pendidikan Islam.[32]
Berdasarkan
lima macam hambatan tersebut, maka karakteristik manajemen pendidikan Islam
bersifat holistic, artinya strategi pengelolaan pendidikan Islam dilakukan
dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mempertimbangkan keterlibatan budaya
manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis, intelektual maupun
teologis. Secara detail, kaidah-kaidah manajemen pendidikan Islam yang harus
dirumuskan haruslah[33]
:
1)
Dipayungi oleh
wahyu (Al-Qur`an dan hadis).
2)
Diperkuat oleh
pemikiran rasional.
3)
Didasarkan pada
data-data empirik.
4)
Dipertimbangkan
melalui budaya.
5)
Didukung oleh
teori-teori yang telahteruji validitasnya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hakikat pendidikan Islam adalah
upaya tanpa putus asa untuk menggali hidayah yang terkandung dalam Al-Qur`an.
Hidayah yang dimaksudkan adalah hidayah iman, hidayah ilmu dan hidayah amal.
Tiga pola pemikiran pembaharuan
pendidikan Islam, (1) pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi
kepada pola pendidikan modern di Eropa. (2) yang berorientasi dan bertujuan
untuk pemurnian kembali ajaran Islam, dan (3) yang berorientasi pada kekayaan
dan sumber budaya bangsa masing-masing dan yang bersifat nasionalisme.
Dalam pembangunan pendidikan Islam
kita perlu memperhatikan perencanaan program pendidikan Islam, tantangan
dampak-dampak iptek modern, dan materi, metode dan tujuan pendidikan Islam.
Pendidikan karakter adalah usaha
yang dilakukan secara individu dan social dalam menciptakan lingkungan yang
kondusif bagi pertumbuhan kebebasan individu itu sendiri. Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk
hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat dan bernegara serta
membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipretanggungjawabkan.
Karakteristik manajemen pendidikan
Islam bersifat holistic, artinya strategi pengelolaan pendidikan Islam
dilakukan dengan memadukan sumber-sumber belajar dan mempertimbangkan
keterlibatan budaya manusianya, baik budaya yang bercorak politis, ekonomis,
intelektual maupun teologis.
B.
Saran
Dalam penyusunan makalah yang sangat sederhana ini tentunya banyak
kekurangan dan kekeliruan, yang menjadi sorotan adalah bagaimana makalah ini
dapat disusun setidaknya mendekati kata sempurna dan dapat mencakup substansi
materi yang ingin disampaikan sehingga tujuan pembelajaranpun dapat terpenuhi. Dalam kesempatan ini kami selaku penyusun tentunya sangat mengharapkan
segala saran, kritik dan pengayaan yang
bersifat membangun dan dapat diberikan landasan pijakan dari teori yang akan
kami tambahkan demi kesempurnaan penyusunan yang akan datang.
[1] Hasan Basri,
2009, Filsafat Pendidikan Islam Bandung : Pustaka Setia, hlm. 56
[2] Ibid., hlm. 57
[3] Zuhairini,
2011, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara, cet. 11, hlm. 117
[4] Ibid., hlm.
117-118
[5] Ibid., hlm.
118
[6] Ibid., hlm.
121
[7] Ibid., hlm.
121-122
[8] Ibid., hlm.
123
[9] Ibid.
[10] Muzayyin
Arifin, 2008, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara,
cet. 3, hlm. 48
[11] Ibid., hlm. 49
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm.
49-50
[15] Ibid., hlm. 50
[16] Ibid.
[22] Aan Hasanah, 2012, Pendidikan karakter Berperspektif Islam,
Bandung : Insan Komunika, cet. 1, hlm. 39
[28] Mujamil Qomar, Manajemen Pendidikan Islam Strategi Baru Pengelolaan
Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta : Erlangga, hlm. 17
Komentar
Posting Komentar