MAKALAH ULUMUL QUR`AN (AYAT MUHKAMAT DAN AYAT MUTASYABIHAT)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Allah
menyampaikan pesan dalam Al-Qur`an dengan beragam cara dan bentuk dalalah baik dengan jelas ataupun dengan
cara samar (mubham). Di antara keduanya terdapat bentuk Muhkam dan Mutasyabih.
Itu semua merupakan karunia Allah swt., kepada umat manusia, agar dapat
memahami dengan elastis, syamil dan
komperhensif.[1]
Ayat
yang menjadi dasar adanya Muhkam dan Mutasyabih adalah ayat ke-7 dari surah
Ali `Imran, sebagai berikut:
Dia-lah
yang menurunkan al-Kitab (Al qur`an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat
ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur`an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan,
maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihaat daripadanya untuk
menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta`wilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui ta`wilnya melaikan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata : “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihaat, semuanya itu dari
sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil peajaran (daripadanya) melainkan
orang-orang yang berakal.
Berdalih
agar tidak terjadi ketimpangan dalam memahami ayat-ayat Al-Quran khususnya
dalam ranah Muhkam Mutasyabbih, maka kelompok kami menyusun makalah yang
membahas tentang kedua hal tersebut dengan judul “Ayat Muhkamat dan Ayat
Mutasyabihat”. Untuk keterangan lebih lanjut mengenai ketentuan dan hal-hal
yang berhubungan dengan Muhkam dan Mutasyabbih, akan dijelaskan dalam bab
berikutnya yaitu bab pembahasan.
1.2 Rumusan
Masalah
Dalam suatu karangan ilmiah haruslah disusun secara
sistematis dan runtut sesuai dengan ketentuan yang ada. Maka dari itu perlu
untuk menyusun suatu rumusan masalah yang menjadi batu pijakan untuk pembahasan
pada makalah ini. Adapun rumusan masalah tersebut ialah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian Muhkam dan Mutasyabih ?
2.
Apa
saja jenis Muhkam dan Mutasyabih ?
3.
Bagaimana
kaidah-kaidah Muhkam dan Mutasyabih ?
4.
Bagaimana
hukum Muhkam dan Mutasyabih ?
5.
Apa
saja hikmah dari adanya ayat Muhkam
dan Mutasyabih ?
1.3 Tujuan
Pembelajaran
Adanya suatu diskusi dalam kelas yang kita lakukan sudah
barang tentu semuanya mempunyai tujuan masing-masing dan boleh jadi tujuan
tersebut berbada ataupun sama. Sedang pembelajaran pada saat ini yaitu dengan
judul “Ayat Muhkamat dan Ayat Mutasyabihat” mempunyai beberapa tujuan
diantaranya adalah :
1.
Dapat
mengetahui pengertian dari Muhkam dan
Mutasyabih.
2.
Dapat
mengerti jenis-jenis Muhkam dan Mutasyabih.
3.
Dapat
memahami kaidah-kaidah Muhkam dan Mutasyabih.
4.
Dapat
mengetahui hukum Muhkam dan Mutasyabih.
5.
Dapat
mengetahui hikmah ayat Muhkam dan Mutasyabih.
[1] Mawardi
Abdullah, Ulumul Qur`an,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 87
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengrtian
Muhkam dan Mutasyabih
Mukam secara etimologis adalah sesuatu
yang tidak ada perselisihan dan kekacauan di dalamnya, dan ada yang mengatakan,
sesuatu yang belum menjadi mutasyabih karena keterangannya sudah tegas dan
tidak membutuhkan kepada yang lain.[1]
Adapun Mutasyabih secara
etimologis berarti tasyabuh, yakni
apabila salah satu dari dua hal serupa dengan yang lain. Syuhbah ialah keadaan di mana salah satu dari dua hal itu tidak
dapat dibedakan dari yang lain karena adanya kemiripan diantara keduanya. Dalam beberapa makna mutasyabih secara bahasa berarti sesuatu yang menyerupai dari
segala segi antara satu dengan yang lain.[2]
Muhkam dan Mutasyabih mempunyai arti umum dan arti khusus sesuai dengan adanya
ayat yang menerangkan masing-masing. Ayat yang menunjukkan kepada pengertian
umum yang menyatakan bahwa al-qur`an kesemuanya adalah muhkam dan Mutasyabih, firman
Allah dalam ayat pertama sura Hud, yang artinya : “ Alif laaam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun
dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi
(Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu.”
Sebagaimana dalam surat az-Zumar
ayat 23
الله نزل أحسن ألحديث كتبا متشبها مثانى تقشعر منه جلود الذين
يخشون ربهم ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذكر أللهۚ ذلك هدى ألله يهدى به من يشاءۚ
ومن يضلل ألله فما له من هاد
Allah telah menurunkan perkataan
yang paling baik (yaitu) Al-Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi
berulang-ulang,gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya,
kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah
petunjuk Allah,dengan Kitab itu dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa
yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang pemiminpun.
Al-Qur`an kesemuanya Muhkam
dan Mutasyabih. Muhkam menunjukkan
pada kekokohan ayat-ayat al-Qur`an dan tidak adanya kekurangan dan perselisihan
di dalamnya. Sedangkan yang dimaksud bahwa al-Qur`an kesemuanya Mutasyabih adalah bahwa masing-masing
ayat-ayatnya saling menyerupai bagian satu dengan bagian yang lain dalam hal
kebaikanm dan dalam I`jaznya.[3]
Secara epistimologi para ulama berbeda pendapat dalam
istilah Muhkam dan Mutasyabih. Sebagaimana dikutip oleh
al-Suyuthi bahwa; 1) Muhkam adalah
yang dapat diketahui maksudnya dengan nyata dan jelas ataupun dengan cara
ta`wil. Sedangkan Mutasyabih adalah
sesuatu yang hanya diketahui oleh Allah seperti kedatangan hari kiamat dan
maksud dari huruf-huruf teroisah yang terdapat pada beberapa awal surah. 2) Muhkam adalah yang tidak dapat
dita`wilkan kecuali hanya dengan satu penta`wilan saja, sedangkan Mutasyabih adalah yang mungkin dapat dita`wilkan dengan
banyak penta`wilan. 3) Muhkam adalah
lafadz yang tidak diulang-ulang, sedangkan Mutasyabih
adalah sebaliknya. Dan masih banyak lagi pendapat para ulama yang
mengemukakan tentang perbedaan Muhkam dan Mutasyabih.[4]
Dari beberapa pendapat
diatas dapat dipadukan antara Muhkam dan Mutasyabih, bahwa yang dimaksud dengan Muhkam adalah kekokohan lafadz ayat dan
kemantapannya serta tidak akan terjadi perselisihan dan kekurangan dalam
al-Qur`an. Sedangkan yang dimaksud dengan Mutasyabih
adalah penyerupaan antara bagian yang satu dari al-Qur`an dengan bagian
yang lain dalam hal kebenaran, ketepatan dan i`jaznya. Lebih jelasnya Mutasyabih
adalah sesuatu yang telah diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan
sebagaimana yang dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat
Allah swt.[5]
2.2 Jenis Muhkam
dan Mutasyabih
Muhkam dapat
dibagi kedalam dua kategori, yakni ; muhkam
li dzati sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan muhkam li ghairi adalah ayat-ayat yang belum dinasakh pada
Rasulullah. Mutasyabih juga mempunyai
dua bentuk, yaitu; Mutasyabih ayat yang
terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf pada permulaan beberapa surah
dalam al-Qur`an, dan Mutasyabih yang
terdapat dalam mafhum ayat seperti terdapat pada ayat-ayat yang berbicara
tentang sifat-sifat Allah swt.
2.3 Kaidah-kaidah Muhkam dan Mutasyabih
Kaidah-kaidah yang dapat ditarik dari berbagai macam Muhkam dan Mutasyabih yang ada dalam al-Qur`an adalah sebagai berikut :
1.
Jika suatu lafadz menunjukkan dalalahnya dengan secara nyata, jelas
dan pasti serta tidak ada kemungkinan untuk dita`wilkan atau ditahshishkan atau dinasakh (setelah masa kenabian), maka ia adalah muhkam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Sarkhasi:”bahwa muhkam tidak boleh dita`wilkan, oleh sebab
itu Allah mengistilahkan al-muhkam dengan Ummal-kitab, yaitu dasar yang menjadi
rujukan seperti kedudukan ibu terhadap anaknya”.
2.
Muhkam
dalam
nash al-Qur`an yang boleh dita`wilkan kepada makna yang lain dan jika `amm tidak boleh ditakhshishkan, maka mukam seperti ini disebut dengan mufashsha dan mufassar dengan tafsiran yang tidak boleh ada keraguan di dalamnya.
3.
Setiap nash al-Qur`an yang berkenaan
dengan pokok-pokok ajaran agama seperti iman kepada Allah, keEsaan Allah, iman
kepada Malaikat, Rasul dan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka serta iman
kepada hari akhir dan tentang hal-hal yang telah terjadi dan akan terjadi, maka
ia termasuk muhkam.
4.
Setiap nash yang menunjukkan akan
keutamaan-keutamaan akhlaq, dan sifat budi pekerti yang baik, seperti jujur,
amanah dan lainnya termasuk muhkam.
5.
Mutasyabihat
adalah
setiap lafadz yang telah diketahui maknanya, akan tetapi dita`wilkan.
Sebagaimana ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat atau dzat Allah swt., “yadu Allah fauqa aidihim” (tangan Allah
di atas tangan-tangan mereka), maksudnya bukanlah seperti secara umum, sehingga
boleh dita`wilkan dengan qudrah atau
kekuasaan.[6]
2.4 Hukum
Muhkam dan Mutasyabih
Hukum
muhkam adalah wajib diyakini dan
dikerjakan seperti yang telah diwajibkan untuk diimani tanpa ada keraguan dan
kemungkinan kemungkinan yang lain. Makna dari muhkam tidak dapat dipalingkan kepada arti yang lain, sebagaimana
ia tidak mungkin untuk dinasakh. Dengan demikian makna dalalahnya terhadap suatu hokum tertentu lebih kuat dari seluruh
jenis dalalah yang sebelumnya. Karena
lafadznya sudah terarah untuk menunjukkan arti suatu hukum tertentu.[7]
Sedangkan hukum mutasyabih harus ditawaqqufkan
dari penta`wilannya di dunia. Disamping itu, harus diyakini hakikat maksud
kebenarannya hanya kepada Allah swt., sebagaimana firmanAllah tentang
orang-orang yang mendalami dalam penta`wilan mutasyabih “Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta`wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta`wilnya melaikan Allah”.
Tawaqquf atsu
berhenti di sini adalah benar sebagaimana kesepakatan para sahabat Rasul yang
mendengar al-Qur`an secara langsung dari Rasulullah saw., sedang isti`naf memulai dari
والراسحون
في العلم ini adalah keterangan bahwa orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata : Kami beriman kepada Allah, yang berarti menyerahkan
makna mutasyabih sepenuhnya kepada
Allah, karena merupakan rahasia-rahasia yang hanya diketahui oleh Allah swt.
sendiri.[8]
2.5 Faedah
Ayat-Ayat Muhkamat dan Ayat-Ayat Mutasyabihat
Dalam pembahasan ini perlu dijelaskan faedah atau hikmah
ayat-ayat muhkam lebih dahulu sebelum menerangkan faedah ayat-ayat
mutasyabihat.
1) Hikmah
Ayat-Ayat Muhkamat
a) Menjadi rahmat bagi manusia,
khususnya orang kemampuan bahasa Arabnya lemah. Dengan adanya ayat-ayat muhkam
yang sudah jelas arti maksudnya, sangat besar arti dan faedahnya bagi mereka.
b) Memudahkan bagi manusia mengetahui
arti dan maksudnya. Juga memudahkan bagi mereka dalam menghayati makna
maksudnya agar mudah mengamalkan pelaksanaan ajaran-ajarannya.
c) Mendorong umat untuk giat memahami,
menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Quran, karena lafal ayat-ayatnya
telah mudah diketahui, gampang dipahami, dan jelas pula untuk diamalkan.
d) Menghilangkan kesulitan dan kebingungan umat dalam
mempelajari isi ajarannya, karena lafal ayat-ayat dengan sendirinya sudah dapat
menjelaskan arti maksudnya, tidak harus menuggu penafsiran atau penjelasan dari
lafal ayat atau surah yang lain.
2) Hikmah
Ayat-Ayat Mutasyabihat
a) Memperlihatkan kelemahan akal
manusia. Akal sedang dicoba untuk meyakini keberadaan ayat-ayat mutasyabih
sebagaimana Allah memberi cobaan pada badan untuk beribadah. Seandainya akal
yang merupakan anggota badan paling mulia itu tidak diuji, tentunya seseorang
yang berpengetahuan tinggi akan menyombongkan keilmuannya sehingga enggan
tunduk kepada naluri kehambaannya. Ayat-ayat mutasyabih merupakan sarana bagi
penundukan akal terhadap Allah karena kesadaraannya akan ketidakmampuan akalnya
untuk mengungkap ayat-ayat mutasyabih itu.
b) Teguran bagi orang-orang yang mengutak-atik
ayat-ayat mutasybih. Sebagaimana Allah menyebutkan wa ma yadzdzakkaru ila ulu
al-albab sebagai cercaan terhadap orang-orang yang mengutak-atik ayat-ayat
mutasyabih. Sebaliknya Allah memberikan pujian bagi orang-orang yang mendalami
ilmunya, yakni orang-orang yang tidak mengikuti hawa nafsunya untuk
mengotak-atik ayat-ayat mutasyabih sehingga mereka berkata rabbana la
tuzighqulubana. Mereka menyadari keterbatasan akalnya dan mengharapkan ilmu
ladunni.
c) Membuktikan kelemahan dan kebodohan
manusia. Sebesar apapun usaha dan persiapan manusia, masih ada kekurangan dan
kelemahannya. Hal tersebut menunjukkan betapa besar kekuasaan Allah SWT, dan
kekuasaan ilmu-Nya yang Maha Mengetahui segala sesuatu.
d) Memperlihatkan kemukjizatan Al-Quran, ketinggian mutu sastra
dan balaghahnya, agar manusia menyadari sepenuhnya bahwa kitab itu bukanlah
buatan manusia biasa, melainkan wahyu ciptaan Allah SWT.
e) Mendorong kegiatan mempelajari
disiplin ilmu pengetahuan yang bermacam-macam.
[1]
Mawardi Abdullah, Ulumul Qur`an,Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 93
[2]
Ibid
[3]
Ibid.,hlm. 94
[4] Ibid., hlm. 95
[5] Ibid
[6] Ibid., hlm. 100
[7] Ibid., hlm. 101
[8] Ibid. hlm. 102
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Muhkam adalah
kekokohan lafadz ayat dan kemantapannya serta tidak akan terjadi perselisihan
dan kekurangan dalam al-Qur`an. Dan Mutasyabih
adalah penyerupaan antara bagian yang satu dari al-Qur`an dengan bagian
yang lain dalam hal kebenaran, ketepatan dan i`jaznya. Lebih jelasnya Mutasyabih
adalah sesuatu yang telah diketahui artinya namun mustahil untuk dikatakan
sebagaimana yang dimaklumi, seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan sifat
Allah swt.
Muhkam dapat
dibagi kedalam dua kategori, yakni ; muhkam
li dzati dan muhkam li ghairi.
Mutasyabih juga mempunyai dua bentuk, yaitu; Mutasyabih ayat yang terdapat dalam lafadz huruf berupa huruf-huruf
pada permulaan beberapa surah dalam al-Qur`an, dan yang terdapat dalam mafhum
ayat seperti terdapat pada ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah
swt.
Kaidah-kaidah
Muhkam dan Mutasyabih diantaranya, jika suatu lafadz menunjukkan dalalahnya dengan secara nyata, jelas
dan pasti serta tidak ada kemungkinan untuk dita`wilkan atau ditahshishkan atau dinasakh (setelah masa kenabian), maka ia adalah muhkam. Sebagaimana dikatakan oleh al-Sarkhasi:”bahwa muhkam tidak boleh dita`wilkan, oleh
sebab itu Allah mengistilahkan al-muhkam dengan Ummal-kitab, yaitu dasar yang
menjadi rujukan seperti kedudukan ibu terhadap anaknya”. Serta setiap
lafadz yang telah diketahui maknanya, akan tetapi dita`wilkan. Sebagaimana
ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat atau dzat Allah swt., “yadu Allah fauqa aidihim” (tangan Allah
di atas tangan-tangan mereka), maksudnya bukanlah seperti secara umum, sehingga
boleh dita`wilkan dengan qudrah atau
kekuasaan.
Hukum
muhkam adalah wajib diyakini dan
dikerjakan seperti yang telah diwajibkan untuk diimani tanpa ada keraguan dan
kemungkinan kemungkinan yang lain. Sedangkan hukum mutasyabih harus ditawaqqufkan
dari penta`wilannya di dunia, dan harus diyakini hakikat maksud kebenarannya
hanya kepada Allah swt.,
Terdapat hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat
yang secara garis besar masuk pada tataran pemafaman dan penggunaan logika
akal.
3.2 Saran
Dalam
memahami ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat tentunya akan menemui perbedaan
antara ulama satu dengan yang lainnya. Maka dari itu, kita sebagi mahasiswa
tidak sepantasnya saling salah menyalahkan pendapat satu dengan yang lainnya.
Karena setiap pendapat yang dikeluarkan oleh para ulama tentunya semuanya
memiliki dasar. Kita harus lebih bijak dalam mengatasi perbedaan.
Komentar
Posting Komentar